*Saya pernah membaca sebuah buku yang saya sebut buku “kiri”, tak perlu saya
menyebut judulnya, tak penting. Tapi isi dari buku tersebut adalah kisah
seorang manusia yang menyalahkan Tuhan terhadap profesi maksiat yang dia jalani
sekarang. Menurutnya, Tuhan adalah “sebab” dan dia adalah “akibat”. Karena
Tuhan adalah sebab yang menciptakan dia maka Tuhan harus bertanggung jawab pula
atas perbuatan maksiat yang dilakukannya. Yah,
buku ini sangat kuat dalam membalikkan iman-iman yang lemah untuk
menyalahkan Tuhan. Dalam kata pengantar bukunya,
penulis tau dampak dari buku yang dia tulis pada kerusakkan iman seseorang,
bukannya merasa bersalah, penulis balik menyalahkan iman orang-orang yang
membaca bukunya.. Hmm..., penulis mungkin tak bisa disalahkan karena ia hanya menulis.
Tapi sungguh sayang, ketika penulis dengan berani mengutip kata sang tokoh
cerita utama, yang mengatakan bahwa Tuhan adalah sebab dari terciptanya manusia,
sehingga kemaksiatan manusia hanya menjadi dampak dari akibat-Nya, maka
penulis-pun harusnya “sadar” bahwa dia juga sekarang melalui bukunya telah
menjadi “sebab”, dan pembacanya yang kehilangan iman adalah sebagai “akibat”
dari bukunya. Andai dia mau berpikir, Mengapa
penulis tidak menjadi sebab untuk menguatkan iman seseorang ? tidak sadarkah
penulis bahwa masyarakat Indonesia sudah cukup lelah dengan kondisi hidup yang
serba susah, sehingga jika disentil sedikit saja maka iman mereka akan luka. Penulis
setuju atau tidak, pada akhirnya pundi pundi itu ia dapatkan dengan merusak dan
menghilangkan iman manusia yang membaca tulisannya. Saya tak tahu, bagaimana
kelak ia akan mempertanggung jawabkan bukunya di hadapan Allah SWT. Naudzubillah....
Disini saya tidak akan membedah buku, karena saya bukan
seorang pembedah buku. Saya hanya ingin mengatakan bahwa buku tersebutlah yang
meng-inspirasi saya untuk menulis artikel ini. Selain juga dari surat-surat
yang masuk di email saya yang menanyakan, “Mengapa Allah men-takdirkan saya
menjadi seorang pelacur, mengapa?, “Apakah
menjadi seorang homoseksual adalah takdir saya? Kenapa bukan orang lain,
mengapa harus saya?” dan masih banyak pertanyaan lainnya seputar hal ini. Maka
sebagai seorang muslim yang masih belajar, saya mencoba untuk sedikit meretas
jiwa-jiwa yang kecewa pada Tuhannya, jiwa-jiwa yang terluka, jiwa-jiwa yang
sempat kehilangan iman-nya sejenak karena penatnya kehidupan, termasuk meretas
jiwa saya sendiri. Bismillahirahmanirrahim.
“Ini sudah takdir
saya, saya hanya tinggal menjalani”. Begitu kira-kira jawaban manusia yang
sudah terperangkap pada sebuah profesi yang sedang dia jalani atau peran yang sedang
dia mainkan. Jika profesi yang dia jalani dan peran yang dia mainkan sesuai dengan
apa yang diperintahkan Allah, mungkin jawaban tersebut terasa nyaman di
telinga. Tapi bagaimana jika profesi yang dia jalani dan peran yang dia mainkan
adalah profesi dan peran yang diharamkan Allah?, maka jawaban tersebut bukan
hanya tidak nyaman di telinga tapi menyesakkan dada dan melukai akal. Maaf, sebut
saja seseorang yang profesinya adalah perampok atau pelacur dan kemudian mereka
menyebut ini adalah sebuah Takdir dari Allah.! Atau seseorang yang menjadi
homoseksual atau waria dan kemudian mereka menyebut ini juga bagian dari Takdir
Allah? Seolah olah mereka tidak berdaya untuk mengelak dan seolah olah Takdir
menjadi kambing hitam atau bahkan pelegalan dari aktifitas maksiat yang mereka
lakukan. jika takdir sudah menjadi
jawaban atas semua itu, maka jelas Allah sang pembuat takdir harus bertanggung
jawab atas semua kemaksiatan itu, sehingga dengan mudah manusia punya alasan
untuk “Menyalahkan” Allah. Astagfirullah
! Dan manusia sebagai penerima takdir tersebut tak patut dihukum atas
kemaksiatan yang dilakukannya, tak perlu ada kiamat, hari akhir dan pertanggung
jawaban di padang masyar.
Sebelum membahas terlebih jauh, saya ingin sedikit
menyegarkan ingatan kita tentang pelajaran agama yang pernah kita dapati di
sekolah dulu. Tentang bagaimana mata
pelajaran agama menjelaskan pengertian dari Iman kepada Qadha dan Qadar?
Seingat saya, kalau saya tidak salah, iman kepada qadha dan qadar adalah,
percaya kepada takdir baik dan takdir buruk. Pengertian sesingkat ini kalau
ditinjau kembali cukup membuat galau manusia. Mengapa, karena dari pengertian
ini seolah-olah Allah ingin memberi warning kepada manusia untuk selalu bersiap
siap bahwa Allah tidak hanya menimpakkan sesuatu yang baik bagi manusia tapi
Allah juga akan menimpakkan sesuatu yang buruk bagi manusia. Intinya manusia
harus bersiap siap menerima sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk dari
Allah. Sekali lagi, kalau manusia ditimpakkan sesuatu yang baik pasti dengan
senang hati hati manusia akan menerima. Lalu bagaimana kalau manusia ditimpakan
dengan sesuatu yang buruk? Ada yang Ridho tapi sedikit, lebih banyak yang marah, benci, putus asa, frustasi, kecewa, hingga sampai pada
kesimpulan “menyalahkan” Allah. Yang bermasalah pula ketika Takdir dimasukkan
dalam perkara Qadha dan Qadar, padahal pengertian ketiganya berbeda sehingga
membuat pemahaman kita semakin ruwet dan semrawut hingga menjadi benang kusut
sut sut.
Selain masalah tentang bagaimana hati manusia menerima terhadap pengertian takdir
baik dan takdir buruk tersebut, yang menjadi masalah berikutnya adalah muncul ketika
manusia menjalani kehidupannya. Ada yang
pasrah menerima keadaan hingga tak mau berbuat apa apa, menunggu Tuhan yang
menggerakkan dirinya, ada juga yang
berusaha tapi dengan usaha yang “ala kadarnya” tapi menginginkan hasil yang
maksimal. Ada juga yang berusaha tapi sebentar sebentar berhenti, berusaha lagi
sebentar berhenti lagi begitu seterusnya, Dan ada pula yang kebelet berusaha
sehingga terkesan memaksakan keadaan.
Lalu diantara semua itu, Kita termasuk bagian yang mana?
Insya Allah disini saya akan mengutipkan tentang pembahasan
takdir, dan akan sangat bermanfaat jika kita bisa mengenal pula teman sejawat
takdir yaitu Qadha dan Qadar tapi insya Allah nanti pada tulisan saya
berikutnya. Marilah kita fokus pada permasalahan “Takdir” terlebih dulu.
TENTANG TAKDIR
Apakah kita percaya dengan Kekuasaan Allah? Bahwa kekuasaan
Allah itu meliputi segala sesuatu yang ada di dunia ini, dimana tidak ada satu
kejadian-pun yang luput dari dariNya.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-An’am ayat 59 :
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang
gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (Q.S. Al-An’AM : 59).
Inilah kekuasaan Allah SWT yang menandakan bahwa Dia-lah
Tuhan Alam Semesta, yang Maha mengetahui segala perkara yang terjadi. Apakah
perkara itu terjadi di masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Semuanya
diketahui oleh Allah SWT dan dituangkan-Nya dalam kitab Lawh Al-Mahfuzh. Sebenarnya
masih banyak Al-Quran dan Hadits yang menjelaskan tentang ke-maha-tau-an Allah SWT
atas segala sesuatu yang terjadi. Hingga dari semua nash-nash tersebut telah
mengurai pada kita tentang pengertian takdir.
Takdir itu sendiri adalah catatan (ilmu) Allah yang
menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan “segala sesuatu” adalah
benda, manusia dan amal perbuatannya, alam semesta, kejadian dan sebagainya, semuanya
telah tercatat/ diketahui oleh Allah swt dan dituliskan di lawh al-mahfuzh. Inilah perkara yang wajib di imani oleh
seorang muslim.
( Sumber : IPS, Hafidz Abdurrahman)
Makna dari semua ini adalah Allah SWT telah mengetahui
segala sesuatu tentang manusia sebelum ia diciptakan. Dan juga mengetahui
ketetapan nasibnya di dunia maupun di akhirat kelak (bahagia, atau celaka,
sukses atau gagal, kaya atau miskin, umurnya dsb.)
Pembahasan masalah takdir sebenarnya hanyalah masalah pembahasan
tentang kekuasaan Allah swt. Takdir merupakan ilmu Allah dan kekhususan bagiNya
( ilmu Allah mencangkup segala sesuatu karena Allah memang bersifat al-alim dan
mustahil ada sesuatu yang tidak diketahui-Nya). Akan terasa lucu jika Allah
yang berpredikat sebagai “Tuhan” tidak mengetahui perkara yang awal, yang
sedang terjadi dan yang akan terjadi. Jika dia tidak punya kekuasaan dalam
mengetahui segala pekara dulu, kini dan nanti berarti Allah tidak punya
kekuasaan, jadi buat apa Allah disembah? Jikalau begitu masih hebat “orang
pintar” yang notabene cuma manusia biasa
tapi dia dapat menebak apa yang pernah terjadi di masa lalu dan apa yang akan
terjadi di masa mendatang. Maka Disini jelas menunjukkan bahwa Allah adalah
benar-benar Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di dunia. Anda,
saya dan segala yang terjadi di dunia ini adalah berada dibawah genggaman
kekuasaanNya.
Inilah perkara akidah yang harus kita pahami. Walaupun kita
mengimani takdir (ilmu) Allah SWT tersebut, Namun janganlah kita “mencampur
adukan” iman pada “takdir” dengan “amal perbuatan manusia”, karena keduanya memang
tidak ada hubungan sama sekalipun. Artinya ilmu (takdir) Allah tidak pernah
memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu, juga tidak pernah memaksa seseorang
untuk tidak berbuat sesuatu.
Adalah kesalahan yang “fatal” jika kita men-campur-adukkan
“takdir” dengan “amal perbuatan manusia”. Mencampur adukkan yang saya maksud disini
adalah, “menggaitkan” antara “amal perbuatan yang telah kita lakukan” dengan
ilmu Allah yang Maha mengetahui. Kesalahan fatal yang akan muncul dalam benak
kita saat kita men-campur-adukkan keduanya adalah, semisal kita melakukan sebuah amal
perbuatan, sebut saja perbuatan negatif dan kemudian kita harus menangung “konsekuensi”
dari perbuatan negatif tersebut yang tentunya tidak mengenakkan, maka mulailah
dalam hati dan pikiran kita mulai berpikir kenapa ini menimpa saya dsb, dan
jika kita sudah menemukan jalan buntu,
maka disini pasti kita akan menyalahkan Allah atas apa yang menimpa kita.
Sebuah contoh dalam bentuk kisah; ada seorang wanita melakukan
aktifitas pacaran dengan seorang lelaki, kemudian dia berzina hingga ia hamil
diluar nikah, parahnya sang lelaki tidak mau bertangung jawab atas perbuatannya
dan kemudian lelaki itu lari meninggalkan wanita tersebut begitu saja. Karena
ingin menutupi aib, wanita tersebut kemudian menggugurkan kandungannya. Wanita
tersebut kemudian mencoba memulai hidup yang baru. Disuatu ketika ia kembali
berkenalan dengan seorang lelaki lain. Lambat laun dia-pun memulai hubungan
dengan lelaki tersebut. Perzinahan-pun kembali dilakukannya dengan pacar
keduanya tersebut. Tanpa diduga ia kembali hamil. Namun si lelaki ini tak mau
pula bertangung jawab atas bayi yang dikandungnya dan kemudian pergi
meninggalkan wanita tersebut. Wanita itu kembali terpuruk untuk yang kedua kalinya
hingga lambat laun rasa kecewa dirinya pada lelaki memuncak. Dari apa yang
terjadi pada dirinya, dia mulai menganggap bahwa semua lelaki di dunia ini
sama, sehingga dia memutuskan membalaskan dendamnya kepada lelaki dengan cara
membuat para lelaki jatuh cinta padanya tentu dengan memberikan tubuhnya.
Setelah puas dia mempermainkan hati para lelaki maka dia kemudian meninggalkan
lelaki tersebut. Disisi yang lain, kehidupan ekonomi keluarganya memburuk. Ia
dituntut untuk membantu kehidupan orang tua dan adik-adiknya. Karena semua itu, pada akhirnya wanita
tersebut menerjungkan dirinya dalam dunia pelacuran.
Maka pada saat wanita ini
mulai merasa jenuh pada keadaannya, ia mulai membandingkan alur hidupnya dengan
alur hidup orang-orang disekitarnya yang menurutnya jauh lebih baik daripada
dirinya, membuatnya kemudian berada pada titik nadir, maka sang wanita mulai
marah kepada Allah. Hadir pertanyaan-pertanyaan yang bernada marah dan kecewa
kepada Allah. Dia bertanya, mengapa Allah mempertemukan dia dengan lelaki
tersebut yang menjadi awal dari kehancuran dirinya. Kenapa dia dibiarkan
melakukan perbuatan zina, kenapa Allah tidak mencegahnya? Bukankah dia punya
kuasa untuk mencegah hal itu? Dan pada akhirnya ketika dia ditanya kenapa
menjadi seorang pelacur maka dengan hati yang marah dia akan menjawab, “ini
adalah takdir saya”. Apakah pernyataan seperti ini bisa dibenarkan?
Jawaban seperti ini adalah jawaban dimana manusia tersebut
telah mencampur adukkan antara “takdir” yang merupakan ilmu Allah dengan “amal
perbuatannya”. Agar tak muncul kebingungan maka mari coba kita bedah satu
persatu :
Seperti yang saya jelaskan di atas, takdir adalah bagian
dari tanda “maha” kekuasaan Allah dimana Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Nah pertanyaannya, apakah ilmu Allah ini “diketahui” oleh manusia atau tidak?
Apakah manusia dapat mengetahui apa yang akan terjadi pada dirinya sebentar,
besok dan esok? Apakah manusia mengetahuinya? Jawabannya Adalah TIDAK. Mengapa?
Karena tentang takdir adalah tentang ILMU Allah, Milik Allah, dan kepunya
Allah. Atau bahasa kasarnya itu adalah “URUSAN
Allah”. Apakah manusia bisa mengurusi urusan milik Allah? Adakah manusia yang
mampu mengetahui urusan Allah ini? Boro boro mengetahui urusan Allah, urusan
diri sendiri saja manusia tidak sanggup dan malah harus meminta tolong kepada
Allah. Jadi please sob, biarkan itu menjadi urusan Allah saja dan menjadi rahasiaNya
karena kita tidak akan sanggup dan bahkan tidak akan pernah bisa mengetahui
urusan Allah ini meski kita mencari “orang pintar” terhebat di dunia ini.
lagipula “orang pintar” juga tidak bisa mengetahui urusannya di masa depan,
apalagi mengurusi urusan kita. Gak usah sok-sok an mau baca atau mau tahu urusan
ALLah. Jadi, TAKDIR ADALAH URUSAN ALLAH TITIK. Cukup sampai disitu pemahaman
kita.
Lalu URUSAN kita apa?
Urusan kita manusia adalah hanya dalam
hal sebatas“amal perbuatan”. Mengapa? Karena dalam melakukan “amal perbuatan”
Allah memberikan kebebasan “penuh” kepada manusia untuk bertindak sesuai dengan
apa yang dia inginkan. Kebebasan penuh yang saya maksudkan disini adalah Allah
tidak akan “langsung” dengan “datang” pada kamu memerintahkan kamu melakukan
ini dan melarangmu melakukan itu, mencegahmu berbuat ini dan menyetujui kamu
berbuat itu. Memukul tanganmu saat mencuri atau menghentikanmu saat kau sedang
bermaksiat. No, Allah tidak akan “langsung” datang padamu seperti itu. Allah
itu tidak gila urusan kayak kamu, Allah bukan bodyGuard kamu. So, Kamu mau
kemana, mau pakai baju apa, mau berbuat apa, kamu sendiri yang bertindak dengan
kekuasaan dan kebebasan penuh dirimu. Saya gak bisa membayangkan kalau itu
terjadi. Halah, daya nalarku terlalu tinggi sampai berpikir betapa ribetnya hal
itu kalau benar-benar terjadi, betapa anehnya dan betapa...lucu dunia manusia.
Stop.!
Maka muncullah pertanyaan berikutnya, lalu dimanakah fungsi
“Akal” yang menjadi anugerah kesempurnaan spesial dari Allah buat manusia, jikalau
setiap manusia mau berbuat dan bertindak Allah swt langsung “turun tangan”. dimana?
Sebelum menjawab peranan Akal, kita harus menyadari dulu
bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah SWT maka. Dalam beribadah
ada namanya “aturan main” yang dibuat oleh Allah untuk mengatur manusia agar
dia bisa selamat dunia dan akhirat. Aturan main ini telah Allah tuangkan dalam
kalamnya AL-Quran dan As-Sunnah yang saya sebut keduanya sebagai
“penuntun” hidup jalan manusia. Maka
disinilah letak peranan Akal. Dimana Akal yang yang menjadi anugerah spesial
dari Allah tersebut “digunakan” dalam
melakukan setiap amal perbuatan yang tentu akal wajib di bimbing oleh Al-Quran
dan As-sunnah. Akal akan menjadi “penakar” dan “penimbang” apakah amal yang
kita lakukan sudah sesuai dengan perintah Allah ataukah merupakan larangan
Allah. Akal disini akan menjadi Kompas. Seperti kompas yang dapat menunjukkan
mana arah utara selatan barat dan timur maka akal yang dipunyai manusia akan menunjukkan
mana jalan ke surga dan mana jalan neraka. Tentu Akal yang sudah diberikan
pemahaman Islam. Jadi Allah tidak perlu turun tangan secara langsung untuk
“membuatmu” bertindak dan berbuat. Semua tindakan amal perbuatanmu berada di
wilayah yang bisa kamu kuasai.
Dalam kehidupan dunia ini, Allahpun sebenarnya telah mewanti
wanti kita agar jangan salah dalam melakukan sebuah perbuatan karena setiap
perbuatan ada konsekuensi yang harus kita tangggung. Karena dunia ini terikat
dengan hukum “Kaidah kausalitas” atau hukum “sebab akibat” yang berlaku. Misal
Jika kita melakukan hal ini maka konsekunsinya ini, jika melakukan itu maka
konsekuensinyapun itu. Jadi Allah tidak
pernah “memaksa” manusia dalam melakukan sebuah amal perbuatan tetapi manusia
itu sendiri yang bebas berbuat dan bertindak atas kesadaran penuhnya.
Maka mari kita Lanjutkan bedah kisah wanita tersebut. Supaya
lebih mengena dan efisien, jangan tersinggung yah, saya ganti kata “wanita” itu
dengan kata “kamu”.
Lanjut, Walaupun Allah yang mempertemukan kamu dengan si
lelaki, pertanyaannya, apakah Allah yang memaksa kamu untuk pacaran dengan
lelaki tersebut. Analognya, Allah turun ke bumi dan mengatakan kepada kamu, “hambaKu yang cantik, berpacaranlah dengan
orang tersebut, sebab ia ganteng dan lumayan dia banyak uangnya”. Allah yang
memaksa atau kamu yang dengan “kemauanmu” sendiri yang “mau” ketika diajak
untuk berpacaran? Tentu kamu sendiri yang bertindak dengan kesadaran penuhmu.
Setelah itu karena aktifitas pacaran telah terjadi maka tentu menuntut kamu
untuk selalu berduaan dengan sang pacar. Dan pada saat nafsu tidak dapat dikontrol
maka terjadilah zina. Apakah Allah yang
memaksa kamu melakukan itu atau itu kemauanmu sendiri? Kemudian, orang bodoh-pun
paham bahwa sudah menjadi aturan Alam bahwa “pembuahan” itu dihasilkan dari proses
bertemunya sperma dengan sel telur. Ada berlaku hukum “sebab akibat” disana.
Jadi jika pada pembuahan prosesnya sempurna dan kamupun hamil. Kamu syok dan
tanpa merasa bersalah dan malu kamu mengaduh. “ Ya Allah, kenapa saya bisa
hamil?” Kamu ingin menyalahkan Allah? Sementara kamu sendiri sudah tau hukum
sebab akibat tersebut. Yah kecuali kalau kamu tidak mau disebut orang bodoh
yang tak tau proses itu. Please deh.
Selanjutnya, ternyata laki-laki itupun pada dasarnya hanya
menginginkan madu kamu saja, dan setelah tau kamu sudah kebobolan, lelaki itu kemudian
pergi meninggalkan kamu. Ketika dengan mudahnya kamu memberikan madumu pada
lelaki yang belum sah menjadi suamimu dan kemudian kamu hanya menyisakan rasa
sakit, siapa yang harus disalahkan?
Maaf, mau menyela sedikit tentang hal ini. Sob, mana ada
laki-laki sholeh yang mengambil madu dengan cara membobol? Ingat, hanya pencuri atau penjahat yang
melakukan pembobolan dan laki-laki yang sholeh tidak akan melakukan itu. Tau
khan sifat pencuri dan penjahat? Setelah selesai membobol, kabur deh. Kecuali
pencuri yang udah terlanjur “ketangkep basah”. :P
Lanjut, pada akhirnya kamu kemudian kecewa dengan makhluk yang
bernama laki-laki dan membuat kamu mengangap bahwa semua laki-laki di dunia ini
sama. Sehingga kamu-pun berniat balas dendam kepada laki-laki. Dan karena
alasan himpitan ekonomi kamupun melakukannya demi mencari uang. Sehingga
terjunlah kamu sekalian menjadi wanita pelacur dan menjadikannya sebagai sebuh
pekerjaan. Hmm...pekerjaan apa coba yang maaf kerjanya hanya modal “goyangan”
doang....? T T
Kembali ke kasus, mungkin ada yang bertanya, Jika Allah tau
bahwa laki-laki tersebut akan membuat saya menjadi hancur mengapa Allah masih
mempertemukan saya dengan Dia? Mengapa Allah tidak mencegahnya? Coba, jika
seperti ini pertanyaannya, kira-kira apa jawabannya?
Sebenarnya saya susah hati untuk menjawab seperti ini. Tapi
karena pertanyaan ini keluar dikarenakan ketidakpahaman dan pencampuran antara
“takdir” dengan “amal” maka saya akan mencoba menjawab sesuai dengan ilmu yang
saya pahami.
Sekali lagi, memang pertemuan kamu dengan lelaki tersebut tanpa
sengaja adalah bagian “takdir”. Kenapa saya tau? Ia, karena perkara ini sudah terjadi maka
dengan berani saya menyebutnya sebagai takdir. Tapi apakah kedepannya kamu bisa
menebak apakah kamu akan terus bertemu dengannya? Kemungkinan itu bisa terjadi
jika kamu dan dia berjanji untuk bertemu. Dan kemungkinan untuk tidak bertemu
juga ada jika kamu menolak untuk bertemu dengan dia. Semua menjadi pilihan kamu
karena ini adalah sudah masuk dalam bentuk amal perbuatan yang dapat kamu
kendalikan.
Untuk Allah...Yah, Allah tau. Tapi pertanyaannya apakah kamu
tahu apa yang “diketahui” Allah? Apakah
ketika kamu bertemu dengan lelaki tersebut maka langsung muncul dalam pemikiran
kamu, kamu langsung mengetahui, "hmm...ini lelaki yang dikemudian hari akan
berzina dengan saya, yang membuat hamil saya dan kemudian akan meninggalkan
saya.” Kamu bermimpi dan terlalu banyak menonton sinetron kelas rendahan. Tentu
saja jawabannya Tidak...ketika bertemu kamu hanya tau bahwa dia adalah lelaki
dengan wajah manis yang adalah anak juragan pete di daerahmu. That its. Itu
saja.
Pada dasarnya kamu sendiri yang bertindak ketika dia ajak kenalan.
Kamu diberikan pilihan mau atau tidak. Setelah itu dia mulai ajak pacaran, kamu
juga diberikan pilihan, mau atau tidak. Setelah itu ketika dia mengajakmu
berzina, kamu bisa saja mau atau tidak dengan cara menamparnya sekeras-kerasya dan
meneriakkan padanya bahwa “aku bukan wanita rendahan” dan kamu pergi dari situ.
Maka bisa zina itu takkan terjadi.
Atau kita kembalikan kisah dari awal pertemuan
saja karena disini letak perseteruannya. Jika kita jeli, dalam setiap “hasil”
ada “proses” yang mendahuluinya. Jika kamu menolak untuk bertemu pada pertemuan
yang dia minta. Maka semua cerita mulai dari pacaran, zina, hamil, kecewa dan
pada akhirnya sampai menjadi pelacur itu tidak akan pernah terjadi.
INTINYA,
Kalaupun saat ini kamu adalah seorang pelacur, jika kamu
memutuskan untuk berhenti saat ini juga untuk menjadi pelacur, menolak semua
godaan uang yang menggiurkan, khan bisa? Coba, Apa Allah mencegahmu? Meski dunia memaksa dan menentangmu tetapi jika kamu bersikeras untuk merubahnya dengan kesadaran penuh beserta "tindakan nyata", maka tidak ada yang bisa menghadangmu. Kamu yang punya tubuh dan menguasainya, karena itu kamu yang melakukan usaha itu. Lagipula, ketika kamu sudah berhenti menjadi pelacur maka kamu telah "pergi" dari takdir seorang pelacur "menuju" ke takdir seorang wanita baik-baik.
Mari belajar dari kisah Umar ra berikut ini
Khalifah Umar ibn al-Khaththab
mengkritik Abu Ubaydah ketika ia mengaitkan masalah takdir dengan usaha
manusia.
Pada tahun berjangkitnya wabah penyakit thâ’ûn (pes), Khalifah Umar berangkat keluar dari Madinah menuju ke wilayah Syam. Sampai di suatu
tempat dekat Tabuk, beliau ditemui oleh para panglima perang yaitu Abu Ubaydah
ibn al-Jarrâh, Yazîd ibn Abi Sufyân, dan Syurahbîl ibn Hasanah. Mereka memberi
informasi bahwa di negeri Syam tengah berjangkit wabah penyakit. Mereka juga
menceritakan sebagian fakta dari wabah penyakit itu dan keganasannya. Khalifah
‘Umar menjadi khawatir mendengarnya. Pada sore harinya, Khalifah mengumpulkan para
shahabat Muhajirin yang pertama-tama masuk Islam. Beliau mengajak
bermusyawarah, apakah tetap akan melanjutkan perjalanan menuju Syam, sementara
di sana terdapat wabah penyakit, ataukembali ke Madinah. Para shahabat
Muhajirin berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, “Khalifah,
Anda keluar mencari ridha Allah dan pahala dari-Nya. Oleh karena itu, kami
berpendapat, Anda tidak boleh terhalang oleh adanya bencana yang datang kepada
diri Anda.” Yang lain berpendapat, “Karena di sana ada bencana dan wabah, kami berpendapat,
Anda tidak perlu melanjutkan perjalanan menuju ke sana.”
Sahabat Anshar juga berbeda
pendapat seperti halnya para shahabat Muhajirin. Mereka menyatakan pendapat
yang sama seolah-olah pernah mendengar permusyawarahan sebelumnya, kemudian
mengulanginya kembali.
Kemudian Khalifah ‘Umar ra
kemudian mengumpulkan para shahabat yang berhijrah pada masa penaklukan kota
Makkah yang terdiri dari orang-orang Quraisy. Beliau mengajak mereka
bermusyawarah. Ternyata, tidak ada satu pun di antara mereka yang berbeda pendapat.
Semuanya sepakat mengatakan, “Kembalilah Anda, wahai ‘Umar, beserta kaum
Muslim, ke Madinah. Sebab, wabah tersebut adalah suatu bencana dan akan menghancurkan.”
Khalifah ‘Umar lantas memerintahkan Ibn ‘Abbas agar
menyeru kaum Muslim untuk mempersiapkan keberangkatan mereka subuh keesokan
harinya. Ketika tiba waktu subuh dan kaum Muslim telah melaksanakan shalat
subuh, ‘Umar ra mengarahkan pandangannya kepada kaum Muslim seraya berkata,
“Aku akan kembali ke Madinah. Oleh karena itu, hendaknya kalian pun kembali!”. Pada
saat itu, Abu Ubaydah mendengarnya, sementara sebelumnya ia tidak menghadiri
musyawarah Umar ra dan tidak mengetahui kesimpulannya. Tatkala mengetahui
perintah Umar tersebut, ia berkata kepada Umar ra, “’Umar, apakah Anda akan
lari dari takdir Allah?” . Umar merasa kecewa atas penentangan tersebut. Beliau
kemudian menatap Abu Ubaydah dengan tajam beberapa saat. Tak lama kemudian
beliau berkata, “Andaikata orang lain yang mengatakan begitu, wahai Abu ‘Ubaydah,
tentulah pantas. Benar, aku lari dari
takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”
Beliau lalu menundukkan
pandangannya dan meneruskan ucapannya, “Bagaimana pendapatmu seandainya ada
seseorang yang mendiami suatu lembah yang mempunyai dua jenis tanah; yang satu
subur dan yang lainnya tandus. Bukankah orang yang menggarap tanah yang tandus
itu atas takdir Allah? Begitu juga orang yang menggarap tanah yang subur,
bukankah atas takdir Allah pula?”
Percakapan antara shahabat Umar
dengan Abû Ubaydah dan kritik Umar atas penentangannya menunjukkan bahwa
kedua shahabat tersebut memahami bahwa takdir adalah ilmu Allah. Hanya saja, Umar memandang bahwa takdir Allah tidak berkaitan dengan obyek pembahasan hukum
kaidah kausalitas.
Berangkat ke wilayah Syam, sementara di sana tengah
berkecamuk wabah penyakit thâ’ûn (pes), bisa saja mengantarkan manusia kepada kematian. Kembali ke kota
Madinah berarti mengambil sebab yang mengantarkan pada keselamatan dari wabah
penyakit thâ’ûn. Oleh karena itu, beliau mengkritik abu Ubaydah yang
menentangnya dan berkata, “Andaikata orang lain yang mengatakan begitu, wahai
Abû ‘Ubaydah, tentulah pantas.”.
Umar malah tidak merasa cukup dengan
kata-katanya itu. Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa pergi ke wilayah Syam
adalah pergi dengan takdir Allah, sementara kembali ke kota Madinah adalah juga
kembali dengan takdir Allah, yaitu dengan ilmu Allah.
Pernyataan di atas menunjukkan
bahwa takdir tidak bisa dihubungkan dengan amal perbuatan. Di samping itu, seseorang
tidak dibenarkan meninggalkan sebab-akibat hanya karena alsan takdir. Umar dan
para shahabat, meskipun beriman kepada takdir Allah secara mutlak, mereka tidak
pernah berserah diri terhadap keadaan yang telah ditakdirkan. Mereka justru
mencari sebab (jalan) yang bisa menyelamatkan mereka dari keadaan. Oleh karena
itu, tampak sangat jelas bahwa, berserah diri terhadap keadaan secara mutlak,
yang biasa dikenal dengan qadriyah ghaibiyyah, bertentangan dengan Islam.
bahkan, kita harus berusaha untuk mengubah keadaan atau menyelamatkan diri dari
kondisi seperti itu. Demikian, seorang Mukmin
Saya sendiripun jikalau saya mau, saat ini juga saya bisa
melepaskan jilbab dan khimar saya dan keluar dengan pakaian yang seksi di
jalanan. “kalau saya mau” maka itu akan terjadi. Siapa yang mau menghentikan
saya? Tapi saya memilih untuk tidak mau. Pilihan saya yang tidak mau adalah “amal
perbuatan” saya yang menjadi urusan saya. Dan ketika saya berpindah dari masa
jahiliyah ke masa islam maka saya telah memilih takdir saya. Untuk ini saya
bersyukur sangat kepada Allah SWT atas hidayah yang dia beri.
Rasulullah SAW telah juga melarang para sahabatnya mencampur
adukkan pemahaman takdir dengan amal perbuatan manusia yang dapat menyebabkan
manusia tidak mau berusaha dalm hidupnya. Harus dipahami bahwa ada perbedaan
antara apa yang harus diyakini dan apa yang harus dikerjakan.
Telah diriwayahkan dalam Shahih muslim dari Ali bin Abi Thalib RA :
“Rasulullah SAW suatu hari pernah duduk duduk (bersama para
sahabat). Di tangan beliau ada sepotong kayu. Lalu dengan kayu itu beliau
menggores (tanah). Kemudian beliau mengangkat kepala dan berkata : “setiap
kalian yang bernyawa sudah ditetapkan tmpatnya di surga atau di neraka. “para
sahabat terkejut, lalu bertanya, “ kalau demikian ya Rasulullah, apa gunanya
kita beramal? Apakah tidak lebih baik kita pasrah saja (pada takdir)? Beliau
menjawab, “jangan, tetaplah beramal. Sebab, setiap orang akan dimudahkan oleh
Allah jalan yang sudah ditentukan baginya. “lalu rasulullah membaca surat
Al-Lail 5-10. (imam an-nawawi, shahih muslim, XVI/196-197)
Sesungguhnya islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan
dengan bekal akal, kekuatan, persiapan tenaga dan ilmu agar ia mampu membedakan
mana yang salah dan mana yang benar sebagai standar perbuatannya. Dengan
demikian secara sukarela manusia akan memilih ( tanpa adanya unsur paksaan)
kehendaknya sendiri. Sebab sesungguhnya takdir hanyalah pemberitahuan tentang
ilmu Allah yang sangat luas, meliputi segala sesuatu. Ilmu Allah tidaklah
pernah memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
(lihat : imam al-khattabi dalam Sayyid sabiq, aqidah islam al 151)
Tak ada seorang manusia-pun yang tahu apa yang tertulis bagi
dirinya di lawh al-mahfuzh. Karenanya, tidak bisa "dibenarkan" jika ada seseorang
yang berkata, “saya berbuat begini karena telah dituliskan oleh Allah swt di
lawh al-mahfuzh harus berbuat begini.” Sebab darimana ia tahu bahwa Allah telah
menuliskan perbuatan tersebuat baginya di lawh al-mahfuzh?
RAHASIA AMAL PERBUATAN
Kamu tau kenapa Allah SWT memberikanmu "kebebasan penuh" dalam bertindak? Karena Allah swt telah memberikanmu akal. Allah swt memastikan bahwa anugerah akal yang Ia beri jika kamu gunakan sesuai fungsinya maka kamu mampu "mengendalikan" semua perbuatanmu sesuai dengan apa yang diperintahkanNya, dan sekaligus "melawan" semua godaan yang menerpamu serta memilih jalan yang akan kamu tempuh. Karena keberadaan akal itulah yang menjadikan Allah swt "BERHAK" untuk "meminta pertanggung-jawaban" dalam setiap amal perbuatanmu di akhirat kelak. Selain memberikanmu akal Allah swt juga menurunkanmu Al-Quran dan As-Sunnah untuk menjadi penunjuk arah, maka itulah Allah swt "BERHAK" pula untuk memasukanmu dalam Surga atau NerakaNya.
Dari sini kita dapat menyimpulkan Rahasia dari amal adalah karena amal perbuatan manusia menghasilkan yang namanya "pahala" dan "dosa". Sementara "takdir" atau ilmu Allah swt tidak menghasilkan "pahala" dan "dosa' melainkan hanya "ilmu" Allah swt semata, yang notabene menjadi URUSAN Allah swt. Selanjutnya "pahala" dan "dosa" inilah yang akan "ditimbang" dalam timbangan Allah. "Hasil" dari timbangan inilah yang akan menentukkan apakah kamu berhak menerima surga-Nya Allah SWT atau berhak menerima Neraka-Nya Allah.
Rahasia dari amal perbuatan manusia sudah "terkuak". Hasil dari amal perbuatan manusia sudah "terkuak". Jika rahasia ini sudah terkuak, alasan apa lagi yang dapat kamu gunakan untuk "mengkambing-hitamkan" takdir atas segala kemaksiatan yang kamu lakukan. Alasan apa lagi yang dapat kamu gunakan untuk menyalahkan Allah swt atas apa yang menimpamu?
Manusia yang sudah mengetahui Rahasia dari amal perbuatan ini dan kemudian memahaminya maka insya Allah dia akan "bijak" dalam bertindak dan bertingkah laku. Sebab dia tau bahwa apa-pun yang dia lakukan dan apa yang akan dia perbuat akan diminta pertangging-jawaban di hadapan Allah swt kelak.
KESIMPULAN
Apapun amal perbuatan yang kamu lakukan hari ini, profesi
yang kamu lakoni saat ini apakah memilih menjadi pelacur atau pedagang, menjadi
dermawan ataukah penjahat, menjadi normal ataukah menjadi homoseksual, apakah itu amal baik atau amal buruk itu
merupakan pilihan kamu sendiri untuk mengerjakan. Karena semua itu tunduk pada
kekuasaan “pilihanmu”.
Mau berhenti jadi
pelacur atau terus, mau berhenti jadi penjahat atau terus, mau terus menjadi homoseksual
atau berhenti, semua itu berada dibawah kendali dirimu sendiri. Maka marilah
kita jujur sejujur jujurnya pada diri kita sendiri, rasanya tak pantas dan hina
jika kita menyalahkan Allah atas takdir yang menimpa kita.
Hamba yang mengimani takdir dengan tidak mencampur addukkannya
dengan amal perbuatan, ia akan “tegar” dalam mengarungi kehidupan. Jika Allah SWT
memberikan kebaikkan ia bersyukur dan ketika diuji ia bersabar dan ikhlas. Ia
siap menjadi “PETARUNG” dalam mengarungi dunia yang begitu penuh dengan segala
godaan, bukan PECUNDANG yang suka mengkambing hitamkan takdir.
Semoga dengan tulisan kecil ini dapat mengobati "luka" hati pada sang Khalik, bisa mengurai "kecewa" hati pada-Nya. Serta mampu menyemai kembali iman-iman kita yang telah "rapuh" dan yang "hamir rapuh" dengan "menguatkanya". Terkhusus untuk diri ini yang masih jauh dari ikhlas dan sabar saat di uji olehNya. TT
Sehingga sajadah yang seharusnya usang karena tersentuh dahi bukan usang oleh karena waktu dapat kita gelar kembali di atas bumi tempat kita berpijak.
"Percayalah seperti kasih ibu yang luas pada anak-anaknya maka percayalah kasih Allah swt tentu "jauh lebih luwas".
"Jangan putus asa atas kasih sayang dan rahmat dari Allah swt. Selama kita mencoba untuk "taat padaNya. Karena Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hambanya yang sudah "berpayah-payah" untukNya.
Semoga dengan tulisan kecil ini dapat mengobati "luka" hati pada sang Khalik, bisa mengurai "kecewa" hati pada-Nya. Serta mampu menyemai kembali iman-iman kita yang telah "rapuh" dan yang "hamir rapuh" dengan "menguatkanya". Terkhusus untuk diri ini yang masih jauh dari ikhlas dan sabar saat di uji olehNya. TT
Sehingga sajadah yang seharusnya usang karena tersentuh dahi bukan usang oleh karena waktu dapat kita gelar kembali di atas bumi tempat kita berpijak.
"Percayalah seperti kasih ibu yang luas pada anak-anaknya maka percayalah kasih Allah swt tentu "jauh lebih luwas".
"Jangan putus asa atas kasih sayang dan rahmat dari Allah swt. Selama kita mencoba untuk "taat padaNya. Karena Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hambanya yang sudah "berpayah-payah" untukNya.
Apa yang kalian semai hari ini maka itu pula yang akan kalian
semai pada hari esok. Karena itu buatlah
pilihan takdirmu sekarang, karena pilihan takdirmu sekarang akan menentukan
Surga dan Neraka-mu. Memilih-lah selama hak memilih masih ditanganmu sebelum
hak itu dicabut. Ingat, PETARUNG dan PECUNDANG akan mendapatkan tempat
yang berbeda di akhirat kelak. So, selamat memilih. :)
Asiah Muslimah
Sumber:
Islam Politik dan Spritual, Hafidzh Abdurrahman, Al-Azhar press.
Materi Dasar Islam, Arief B. Iskandar, Al-Azhar press.
Kaidah kausalitas,
majalah Al-Wa’ie terbitan
Beirut.
0 komentar:
Post a Comment